Sosialisasi Kebijakan Pendidikan Antikekerasan Seksual, AntiPerundungan, AntiKorupsi, dan AntiIntoleransi di Lingkungan Perguruan Tinggi LLDikti Wilayah XIII Aceh

Sebagai upaya untuk menangani isu yang sering terjadi di dunia pendidikan dan dalam rangka menumbuhkan nilai antikorupsi sejak dini, LLDIKTI XIII menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Kebijakan Pendidikan Antikekerasan Seksual, Antiperundungan, Antikorupsi, dan Antiintoleransi Di Perguruan Tinggi. Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari senin-Selasa, 25-26 Juli 2022 secara daring ini diikuti oleh Perguruan Tinggi Swasta yang ada di lingkungan LLDikti Wilayah XIII Aceh.

Sesi pertama kegiatan sosialisasi ini dimulai dengan topik Pendidikan Antikekerasan Seksual yang disampaikan oleh Ayu Ningsih, S.H., M.Kn., dari Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh. Beliau menuturkan bahwa sebenarnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sudah ada sejak dahulu, namun sekarang semakin marak terjadi dan bahkan dilakukan secara terang-terangan. Kemendikbudristek Dikti melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 akhirnya mengatur ketentuan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, dengan harapan dapat memberikan kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Sebagai salah satu implementasi dari kebijakan ini, Perguruan Tinggi harus membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling lambat 1 tahun sejak diundangkannya peraturan ini. Jika tidak, Perguruan Tinggi dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan dari Kementerian dan penurunan tingkat akreditasi Perguruan Tinggi. Adapun Satgas harus mengandung keterwakilan dari Pendidikan (dosen), tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Selanjutnya, sesi kedua kegiatan sosialisasi berbicara soal topik Pendidikan Antiperundugan yang disampaikan oleh Dr. Rizanizarli, S.H., M.H., dari Lembaga Restorative Justice Working Group. Dalam pemaparannya, Beliau menegaskan bahwa Perguruan Tinggi perlu menyusun aturan, kebijakan, dan tata tertib yang tegas untuk membatasi kegiatan kemahasiswan di lingkungan kampus agar tidak terjadi perilaku bullying. Pimpinan perguruan tinggi perlu menindak tegas jika terjadi perpeloncoan atau kekerasan di lingkungan kampus, yang khususnya sering terjadi antara senior dan junior (mahasiswa baru).

Sesi ketiga dari rangkaian kegiatan sosialisasi ini menghadirkan narasumber dari Direktorat Jejaring Pendidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), yaitu Aida Ratna Zulaiha, S.P., M.M. Aida memaparkan, Pemerintah telah menerbitkan Permenristekdikti No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Pendidikan antikorupsi menjadi bagian wajib dari proses pembelajaran di perguruan tinggi yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, seperti insersi pendidikan antikorupsi pada kurikulum melalui mata kuliah, kegiatan kemahasiswaan, dan atau kegiatan pengkajian.

Menutup rangkaian kegiatan sosialisasi kebijakan Pendidikan 4A, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Ph.D hadir sebagai narasumber pada sesi keempat mengenai Pendidikan Antiintoleransi. Toleransi dalam hal ini mencakup empat bidang, yaitu toleransi beragama, toleransi budaya, toleransi keilmuan, dan toleransi politik. Isu agama selalu menjadi topik yang menarik untuk diangkat dalam konteks toleransi ini dan mahasiswa tentu jadi sasarannya. Mahasiswa memiliki potensi untuk membentuk Gerakan, mudah disetir dan didoktrin oleh kepentingan lain di luar kampus. Untuk itu, penting untuk mengenalkan pentingnya toleransi dan saling menghargai kepada mahasiswa.

Leave a Reply