Budaya Literasi ala Warung Kopi

HENDRA KASMI, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh.OLEH HENDRA KASMI, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh, melaporkan dari Banda AcehDi Aceh, nongkrong di warung kopi (warkop) telah menjadi budaya masyarakat. Warkop telah menjadi pusaran dari segala geliat kegiatan masyarakat dari segala macam profesi.Selain itu, warkop juga telah menjadi tempat rehat yang bagus dari segala rutinitas yang tidak kunjung putus sembari bercengkarama, berdikusi, dan tempat menumpahkan segala keluh kesah dari permasalahan pribadi maupun tempat kerja. Tentu yang lebih utama lagi di tempat ini para pengunjung dapat terus menjaga silaturahmi di tengah kesibukan masing-masing.Warkop telah menjadi pangkalan dari segala aktivitas. Termasuk dalam hal berliterasi. Ruang berliterasi sekarang ini bukan lagi sebagai aktivitas baca tulis yang dilakukan terbatas di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan umum, atau lembaga kebahasaan lainnya.

Dalam media atau wadah literasi juga semakin terbuka dan berkembang. Hal ini berbeda dengan literasi masa dahulu. Literasi pada era dahulu terbatas pada media tertentu seperti buku, media massa, dan radio.Selain itu, literasi pada masa itu merupakan program pemerintah untuk menghapus buta aksara di kalangan warga. Seperti yang kita ketahui pada masa tersebut pendidikan belum merata di Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak mengecap bangku pendidikan karena tidak mampu atau belum adanya kesadaran untuk bersekolah. Jadi, literasi hanya suatu program yang setidaknya mampu membuat masyarakat bisa baca tulis dasar saja sudah cukup. Hal ini untuk membantu aktivitasnya sehari-hari seperti jual beli, menulis surat pribadi, dan sebagainya.Sementara itu, pada era perkembangan teknologi yang semakin maju ini, media akses informasi menjadi lebih luas.

Orang bisa mendapatkan informasi di mana dan kapan saja. Bahkan, orang bisa mengakses informasi tertentu sambil berbaring di tempat tidur.Literasi bukan lagi sebagai sebuah program untuk menghapus tingkat buta huruf dalam masyarakat karena rata-rata angka buta huruf di Indonesia, khususnya di Aceh, sudah sangat berkurang. Literasi bukan lagi sekadar aktivitas membaca informasi umum atau sekadar mampu menulis daftar belanjaan, atau menulis surat tanah, melainkan lebih dari itu. Masyarakat dituntut harus berliterasi dengan baik untuk menghadapi era digital dan tantangan zaman.Waktu melesat sangat cepat, pada era digital ini orang bisa beraktivitas literasi melalui dunia digital. Bayangkan dalam hitungan detik kita bisa mengetahui informasi tentang peristiwa-peristiwa yang berkembang di sekitar kita. Rutinitas media harian cetak mulai berkurang tergantikan dengan media digital berbasis android. Orang bisa mengakses informasi melalui ponsel di mana pun dan dalam kondisi apa pun.Literasi telah menjadi suatu wadah yang sangat praktis. Budaya literasi secara konvesional pun mulai ditinggalkan. Hal ini bisa dilihat pada bisnis media massa dan buku. Lambat laun bisnis media massa mulai memfokuskan pada publikasi melalui online. Literasi masa kini juga telah berdampak pada bisnis penjualan buku.

Di Aceh, toko buku semakin hari semakin kurang diminati masyarakat. Pantauan saya di beberapa toko buku di Aceh sepi pengunjung. Pengunjung ke sana hanya membeli buku-buku untuk keperluan untuk tugas sekolah seperti buku paket pelajaran. Sementara itu, pengunjung ke perpustakaan juga semakin berkurang untuk membaca. Pengunjung ke pustaka hanya untuk keperluan akademis misalnya, mencari bahan keperluan skripsi atau riset lainnya.Selain itu, banyak perpustakaan selain menyediakan bahan bacaan manual juga menyediakan e-book digital. Jadi, pengunjung bisa mengakses bahan bacaan dimana saja, tidak mesti harus ke pustaka.Kembali ke masalah warkop tadi. Seperti yang kita ketahui bahwa warkop menjadi tempat yang paling nyaman untuk mengakses semua informasi melalui media digital tersebut. Informasi tersebut menjadi bahan diskusi bersama teman atau kolega sambil bersantai. Orang sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di warkop untuk mengakses berbagai informasi dan bahan bacaan sambil berdikusi. Orang bisa membaca dan memperluas cakrawala sambil menunggu koleganya. Membaca dapat memperkaya pemahaman dan wawasan kita.Ruang inspirasiLiterasi di warkop ini juga bisa diwujudkan untuk menuangkan ide dan gagasan dalam menghasilkan tulisan. Jenuhnya berada di rumah dan di kantor tentu perlu ruang kreativitas baru dalam menuangkan ide tulisan. Banyak penulis yang menghabiskan waktunya di warkop untuk menulis karya kreatif seperti artikel, cerita pendek, dan sebagainya karena warkop bisa menjadi ruang inspirasi yang sangat bagus, apalagi ditemani secangkir kopi. Menulis yang baik tentu saja tidak bisa dilepaskan dari proses membaca.

Tempat nongkrong ini telah menjadi tempat yang tepat untuk mengakses berbagai bahan bacaan melalui android. Membaca dapat memperkaya pemahaman tentang topik yang ingin kita tulis selain dapat memperkaya kosakata. Banyak penulis yang sukses juga karena membaca karya-karya hebat penulis sebelumnya untuk menjadi bahan rujukan atau referensi dalam menulis. Masih banyak lagi manfaat warkop dalam berliterasi misalnya, dengan berdikusi tentang perkembangan literasi dan karya-karya terbaru.Namun, di era pandemi ini generasi minenial banyak yang nongkrong di warkkop dengan melakukan aktivitas yang tidak bermanfaat. Sunggu miris. Mereka kerap menghabiskan waktu di warkop hanya untuk bermain game online dan berbagi chip. Apalagi di masa pendemi ini, banyak sekali siswa yang tidak sekolah dan menghabiskan waktu di warkop dan bahkan ada yang begadang sampai malam. Waktu mereka terbuang sia-sia. Alangkah bagusnya jika mereka bisa memanfaatkan warkop dengan melakukan hal-hal yang positif seperti membaca. Mengajak mereka untuk membaca pengetahuan dan informasi yang bermanfaat ketimbang bermain game online. Pemilik warkop harus memfasilitasi misalnya, dengan menyediakan ruang baca pustaka mini di pojok warung. Setidaknya dengan sarana pustaka mini di warkop ini bisa lambat laun bisa membangkitkan budaya literasi bagi remaja.Selain itu, remaja bisa membaca pengetahuan membuat permainan kreatif sehingga kelak mereka bisa menjadi produsen (perancang game) bukan hanya sekadar konsumen. Sarana ini selain bisa menumbuhkan budaya membaca bagi remaja selain bisa menumbuhkan inspirasi menulis tentang hal-hal sederhana misalnya, pengalaman sehari-hari tentang Covid-19 dan mengirimkan ke media massa atau media sosial sehingga bisa menjadi sarana informasi dan pengetahuan bagi orang lain.Tentu saja pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat dalam menyosialisasikan program literasi bagi warga. Literasi tidak hanya berhubungan dengan ranah pendidikan sekolah, perguruan tinggi, dan perkantoran, tetapi juga melingkupi semua ranah tempat dan lingkungan, termasuk juga di warkop. Mudah-mudahan dengan kepeduliaan dari berbagai pihak dapat meningkatkan semangat berliterasi di Aceh yang belakangan ini memang semakin bergairah.

Sumber : Klik

Leave a Reply