Cangkir Tongkat Ali dan Potensi Tersembunyi di Blang Mane
Salam #rakanlldikti13
kalinyoe na #habapts dari Universitas Al Musluim Bireun..
OLEH CHAIRUL BARIAH, Dosen Dpk LLDikti Wilayah XIII pada Universitas Almuslim dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Blang Mane, Bireuen
BLANG Mane merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pusangan Selatan, Kabupaten Bireuen, Aceh. Jaraknya dari Kota Matangglumpang Dua sekitar 17 km dengan waktu tempuh ± 30 menit.
Berkunjung ke desa ini butuh nyali yang kuat, karena kondisi jalan belum seluruhnya diaspal. Ada yang masih tahap pengerasan, ada pula jalan yang sudah rusak dan berlubang. Namun, hal ini tidak mematahkan semangat saya untuk berkunjung, walaupun mobil yang kami kendarai oleng ke kanan dan kiri, bahkan terkadang terentak karena masuk ke jalan yang berlubang.
Setelah melewati rintangan berupa jalan yang tak mulus, akhirnya sampailah saya di sebuah warung kecil yang sederhana. Di sini, saya disambut oleh Pak Muhammad, Sekretaris Desa (Sekdes) Blang Mane. Dua hari yang lalu kami memang sudah janjian bertemu.
Menurutnya, desa ini berpenduduk 212 kepala keluarga (KK), dengan mata pencaharian penduduknya yang paling dominan adalah petani kebun, baik di kebun sendiri maupun di kebun orang lain sebagai buruh kebun. Ada juga beberapa aparatur sipil negara (ASN) yang berprofesi sebagai guru dan kepala sekolah.
Pada tahun 1990 desa ini dikenal di tingkat nasional karena merupakan lokasi penempatan transmigran campuran dari Pulau Jawa, kemudian sebagian lagi merupakan transmigran lokal atau penduduk di seputaran kecamatan karena pada saat itu jumlah penduduknya masih sedikit. Warga trans dari Pulau Jawa ini sangat giat bekerja, mereka menanam berbagai tanaman hortikultura yang hasilnya dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan.
Di Aceh, program transmigrasi yang dicanangkan Presiden Soeharto secara nasional itu terhenti akibat kecamuk konflik, sehingga warga transmigran asal Pulau Jawa kembali ke daerahnya tanpa mempedulikan lagi rumah dan aset lainnya yang telah mereka miliki. Mereka lebih memilih menyelamatkan nyawanya agar tak menjadi korban konflik bersenjata di Aceh.
“Desa ini juga dikenal dengan daerah hitam pada masa konflik sehingga jarang orang yang berani masuk ke daerah ini,” ungkap seorang kakek yang sedang duduk menikmati kopi senja dan mendengar perbincangan saya dengan Pak Sekdes.
Belum selesai perbincangan kami, waktu magrib pun hampir tiba. Akhirnya saya dan sopir memutuskan untuk kembali ke Matangglumpang Dua, melewati jalan yang sepi dan sedikit seram bila mengingat kisah masa lalu dari beberapa orang tua bahwa desa itu dulunya daerah hitam.
Dua hari kemudian saya kembali mencari informasi tentang Desa Blang Mane dari keuchik atau kepala desanya juga beberapa orang tokoh yang mengenal desa ini. Salah satunya adalah Pak Azwir, warga Peusangan yang keluarganya banyak tinggal di Blang Mane. Menurutnya, penduduk desa ini sebagian besar adalah pendatang.
Manajemen kepemimpinan di desa ini juga tergolong unik, bahkan dapat dikatakan mirip dinasti karena secara turun-temurun yang terpilih sebagai keuchik berasal dari keluarga yang sama. Saat ini Keuchik Blang Mane dijabat Pak Ramadhan. Beliau adalah anak dari Pak Nurdin yang juga menjabat keuchik dan meninggal dalam masa tugas saat konflik Aceh memuncak eskalasinya pada tahun 1989. Dia adalah pengusul ide adanya transmigrasi di desa itu.
Kemudian, kepemimpinan desa itu dilanjutkan oleh istri almarhum bernama Rohani. Namun, pada tahun 2006 Rohani meninggal karena sakit juga sedang dalam status kepala desa.
Keuchik Ramadhan bercerita bahwa di Desa Blang Mane sangat banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat, tapi terkendala karena tak tersedianya sumber daya manusia sebagai tenaga ahli yang membidangi atau menanganinya. Di samping itu, dana desa juga sangat terbatas bila mereka harus mendatangkan tenaga ahli. Sebagai contoh, potensi yang patut dikembangkan di sini adalah lahan pertanian yang luas. Lahan ini cocok dimanfaatkan untuk memelihara ternak, seperti sapi, kambing, maupun ayamDia berharap ada pihak perguruan tinggi yang dapat memanfaatkan potensi yang ada tersebut sebagai lahan praktik, pengabdian, dan penelitian.
Di hamparan luas desa ini juga banyak terdapat tanaman berkhasiat obat yang dapat diolah dengan sentuhan tangan para ahli sehingga sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Salah satu potensi desa ini yang sudah digarap serius adalah pasak bumi atau yang lebih dikenal dengan nama tongkat ali (Eurycoma longifolia).
Sejumlah perajin di desa ini kreatif membuat cangkir atau gelas dari kayu yang bahan bakunya adalah batang pasak bumi atau tongkat ali. Beberapa orang tua setempat yang saya tanyai mengaku pernah merasakan manfaatnya.
Di desa ini ada badan usaha milik gampong (BUMG). Cuma, BUMG ini bergerak pada usaha simpan pinjam sehingga belum dapat menampung hasil bumi dan juga kerajinan cangkir tongkat ali ini. Padahal, produk kriya ini telah dikenal di tingkat kecamatan dan provinsi.
Karena tertarik pada cangkir tongkat ali, saya khususkan waktu untuk mewawancarai perajin cangkir tongkat ali, yakni Taybur Rahim. Penduduk asli Blang Mane ini lebih populer dengan panggilan Bang Pon.
Untuk menekuni bisnis cangkir tongkat ali, dia ternyata belajar secara otodidak, terinspirasi pada saat pergi ke hutan dan mendapatkan kayu yang kerap diperbincangkan para pria dewasa, yaitu pohon tongkat ali.
Menurut Bang Pon, kerajinan ini semata-mata dia maksudkan untuk suvenir alias cendera mata, tapi banyak yang memesan katanya untuk obat. Para pemesan percaya kayu tongkat ali ini dapat membantu penyembuhan beberapa penyakit. Di antaranya, dapat meningkatkan stamina pria, menyuburkan pria, mengurangi stres, membentuk otot, dan meningkatkan energi.
“Tapi tentang berbagai khasiat ini sangat diperlukan penelitian lebih lanjut,” ujar pria yang beristrikan wanita kelahiran Bogor, Jawa Barat, ini.
Menurut Bang Pon, saat ini dia hanya menggunakan peralatan kerja sederhana hasil rakitan sendiri. Mengapa bisa? Karena, Bang Pon adalah jebolan STM Bireuen.
Namun, untuk ke depan dia sangat berharap ada yang mau membantu pengembangan usahanya, termasuk pemasarannya.
Saat ini dia memiliki empat karyawan dalam membantu kelancaran usahanya. Untuk menampung hasil kerajinan dia bekerja sama dengan BUMG Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan.
Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia juga ingin menurunkan ilmunya kepada generasi muda agar mampu mandiri dan menciptakan lapangan kerja.
Kreativitas dan menciptakan produk yang berbeda adalah kunci sukses bisnis yang ditekuni Bang Pon.
Selain itu dia juga mengisyaratkan bahwa di desa yang kini dia tempati memiliki potensi perkebunan yang dapat dikembangkan. Harapannya, ke depan hendaknya ada rekanan yang mau menampung hasil perkebunan secara langsung di desa ini tanpa harus dibawa terlebih dahulu ke tempat lain, seperti sawit, getah, dan juga hasil dari tanaman hortikultura.
Harapan yang saya juga diutarakan Keuchik Blang Mane, Ramadhan. “Terus terang sebenarnya saya sedih karena sampai saat ini Desa Blang Mane masih tergolong desa sangat tertinggal, padahal potensi desa ini sangat menjanjikan,” ujar Ramadhan.
Berlimpah potensi tersembunyi di desa ini dan sangat pantas untuk dikembangkan. Ada yang mau coba?