Setiap Tahun Bencana Meningkat, Kesiapsiagaan Penting!
BANDA ACEH – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Aceh menggelar Kuliah Umum Kebencanaan di Kampus Punge Blang Cut, Banda Aceh, Rabu (25/12/2019).Kegiatan tersebut dalam memperingati Gempa dan Tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 atau tepatnya 15 tahun lalu. Kuliah yang dihadiri ratusan civitas akademika dan juga anak-anak Panti Asuhan Muhammadiyah Punge.
Kuliah umum diisi oleh pemateri Dr H Taqwaddin Husin. Dia merupakan Ketua Dewan Pakar Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Aceh.Dalam orasinya, Dr Taqwaddin menguraikan pentingnya melakukan upaya preventif, mitigatif, edukatif dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Secara siklus katanya, penanggulangan bencana dimulai dari masa prabencana, tahap tanggap darurat, dan kegiatan pasca bencana.
Jika masa terjadinya bencana dilakukan berbagai upaya tanggap darurat, berupa evakuasi dan memberi pertolongan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik minimal masa panik.
Lalu, masa pasca bencana dilanjutkan dengan kegiatan- kegiatan recovery (pemulihan), rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Sebetulnya yang penting kita lakukan selain tanggap darurat dan recovey adalah kesiapsiagaan kita menghadapi potensi terjadinya bencana,” ujar Dr Taqwaddin yang juga Koordinator Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC ) Aceh.
Menurut Ketua Dewan Pakar FPRB Aceh ini, ada 6 (enam) unsur yang harus menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Pertama adalah berupa pengetahuan kebencanaan. Hal ini penting diintrodusir bagi semua peserta didik dan warga masyarakat agar mereka memahami tanda-tanda alam akan terjadinya bencana.
Kedua, sikap. Dengan adanya pengetahuan yang benar tentang kebencanaan, maka warga masyarakat, utamanya para mahasiswa dan peserta didik lainnya memberikan sikap yang tepat berdasarkan pengetahuan Kebencanaan yang telah dipelajarinya.
Ketiga, kebijakan. Hal ini merupakan ranahnya pemerintah atau pimpinan suatu institusi.
“Nah, ini artinya, setiap kebijakan yang diterbitkan pemerintah harus mempertimbangkan aspek kebencanaan,” ujarnya.
Keempat, Perencanaan ini tentunya maksudkan agar semua kita, termasuk Pemerintah harus memiliki perencanaan menghadapi situasi manakala terjadinya bencana.
Kelima, sistem peringatan dini dan mobilisasi sumberdaya. Sebagai unsur kesiapsiagaan lainnya menghadapi bencana diperlukan adanya sistem peringatan dini dan mobilisasi sumberdaya.
Sehingga beberapa saat terjadinya bencana, warga masyarakat sudah mengetahui dan siap menghadapi bencana yang bakal terjadi.
“Jadi demikian lima poin penting kesiapsiagaan menghadapi bencana dan semua maksud tersebut merupakan hal penting sebagai upaya mencegah dan mengurangi risiko bencana,” kata Dr Taqwaddin.
Kerugian akibat bencana
Ketua Forum PRB Aceh ini juga mengemukakan bahwa meningkatnya kegiatan kesiapsiagaan telah berpengaruh signifikan dalam meminimalisir jumlah korban dan kerugian harta benda.
Pada tahun 2017 terjadi 185 kali bencana dengan kerugian mencapai 1,86 Trilyun rupiah. Pada tahun 2018 terjadi 294 kejadian bencana dengan kerugian 848 Milyar.
Sedangkan pada tahun 2019 ini, terjadi peningkatan tajam kejadian bencana mencapai 753 kali, tetapi kerugian harta benda sebesar 154 Milyar.
“Ini artinya, dalam tahun 2019 ini, sekalipun jumlah kejadian bencana meningkatkan tajam, tetapi karena meningkatnya kesiapsiagaan maka kerugian dapat diminimalisir serendah mungkin,” kata Taqwaddin.
Selanjutnya dia mengatakan kondisi iti merupakan fakta nyata, betapa pentingnya mengoptimalkan kesiapsiagaan bencana.
Pada akhir ia menyampaikan materinya Kepala Ombudsman RI Aceh ini mengajak semua civitas akademika STIKES Muhammadiyah Aceh agar merawat ingatan atau melawan lupa terhadap segala bencana yang pernah dialami, termasuk bencana gempa dan tsunami.
“Hal ini penting, agar kita semakin bijak dalam bertindak dan berperilaku,” demikian pungkas Dr Taqwaddin.