Terbitkan Ijazah Bodong, Pembina dan Ketua Yayasan Perguruan Tinggi di Palembang Ditangkap Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Terbitkan Ijazah Bodong, Pembina dan Ketua Yayasan Perguruan Tinggi di Palembang Ditangkap”
PALEMBANG, KOMPAS.com- Polda Sumatera Selatan menangkap SS yang merupakan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang dan MS selaku ketua yayasan, karena diduga telah menerbitkan ijazah bodong. Kejadian tersebut terungkap setelah salah satu alumni membuat laporan di Polda Sumsel. Pelapor mengaku telah dirugikan karena ijazah yang dikeluarkan oleh pihak kampus ternyata tidak terdaftar di Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi. Dirkrimum Polda Sumsel Kombes Pol Yustan Alpiani mengatakan, dari hasil penyelidikan, Perguruan Tinggi Harapan Palembang dibuka sejak tahun 1998 dan habis izin pendirian perguruan tinggi sampai tahun 2000. Sementara untuk izin program studi telah habis pada tahun 2009. Akan tetapi, perguruan tinggi tersebut baru berhenti melakukan kegiatan penerimaan mahasiswa pada tahun 2014,. “Akibat ada 64 mahasiwa angkatan periode 2014-2017 yang menjadi korban karena ijazah mereka tidak terdaftar di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. Kemungkinan jumlah korban lebih banyak lagi karena izin perguruan tinggi ini telah habis sejak 2009,” kata Yustan, konferensi persi, Kamis (31/10/2019).
Perguruan Tinggi Harapan Palembang diketahui memiliki Program Studi Akademi Perekam dan Informatika dan Akademi Farmasi Harapan. Atas perbuatannya, SS dan MS yang merupakan suami istri ini dikenakan Pasal 378 KUHP dan Pasal 71 juncto Pasal 62 ayat 1 undang-undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 42 ayat 4 UU RI Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp 1 miliar. “Surat pernyataan dari Direktorat Jenderal IPTEK, Dikti, Kemenristekdikti No 3984/C.C5/KL 2017 yang juga menyebutkan, Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang tidak memiliki izin pendirian perguruan tinggi maupun izin membuka program studi,” jelas Yustan. Pengakuan korban Mulyadi, salah satu korban yang membuat laproan mengaku baru mengetahui bahwa ijazah tersebut bodong setelah namanya tidak terdaftar di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi dari Kemenristek Dikti.
Mulyadi menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut pada 2014 dan dinyatakan lulus pada 2017. “Selama kuliah tidak ada hal yang mecurigakan. Dosen juga mengajar seperti biasa ketika hendak mendaftar kerja saya baru tahu kalau ijaazah ini tidak terdaftar,” kata Mulyadi. Akibat kejadian itu, Mulyadi mengaku mengalami kerugian Rp 50 Juta. Selain itu, waktu tiga tahun menjalani masa kuliah menjadi sia-sia karena ijazahnya itu tidak dapat digunakan. “Hanya ijazah SMA sekarang yang bisa saya gunakan,” ujar dia.
Sumber berita klik di sini