Berkat Bidikmisi, Dari Asisten Rumah Tangga menjadi Sutradara
Namaku, Misyatun. Panggil saja Misya. Ini terdengar lebih modern ketimbang Atun. Tapi terserah saja mau memanggilku siapa. Sungguh tak jadi soal. Namun demi membahagiakanku. Panggil saja aku Misya. Bukan yang lain!.
Aku lahir di Bukit Seliling, Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga. Sebuah desa terpencil yang berada di bawah hutan belantara kaki Gunung Slamet Jawa Tengah. Kedua orang tuaku seorang penggarap lahan perhutani yang miskin dan buta aksara.
Ayahku Abdul Latief meninggal sewaktu aku duduk di bangku SLTA. Jadilah ibuku Sutimah orangtua tunggal. Aku punya dua orang kakak lelaki. Namun keduanya telah berkeluarga dan tinggal di desa yang cukup berjauhan. Sehingga aku tinggal bersama ibuku.
Meski aku anak petani miskin, kini aku sudah lulus dari sebuah perguruan tinggi. Dan aku menjadi satu-satunya orang di Bukit Seliling yang dapat mengenyam pendidikan setinggi itu. Aku sangat bersyukur.
Almamaterku bernama Akademi Televisi Indonesia (ATVI). Sebuah kampus penyiaran televisi (Broadcasting) di bawah Yayasan Indosiar SCTV milik perusahaan raksasa bernama Emtek group yang berada di Jakarta. Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa penuh untuk program D3 ilmu komunikasi massa di kampus tersebut.
Seiring berjalannya masa studi, aku juga menerima beasiswa bidikmisi. Kampus berperan aktif menyalurkan beasiswa bidikmisi itu kepadaku yang secara ekonomi memang berhak mendapatkannya. Jadilah biaya kuliahku juga ditanggung bidikmisi hingga lulus. Kepada negara, aku berterimakasih.
Bukan hal mudah untuk menggapai impian kuliah di dunia broadcasting, apalagi bisa melangkah jauh sampai di titik ini. Apa yang aku peroleh adalah buah dari proses panjang yang telah aku lalui. Sebelum seperti sekarang ini, aku pernah mengalami proses hidup yang tidak gampang. Aku pernah putus sekolah sewaktu usia 11 tahun. Tepatnya setelah lulus sekolah dasar aku tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP. Tentu faktor ekonomi keluarga menjadi musababnya. Maka aku memilih merantau menjadi asisten rumah tangga ke Jakarta setelah diajak oleh tetangga yang juga seorang pekerja rumah tangga. Petualanganku menjadi “pekerja rumahan” pun dimulai di Ibu Kota. Selama bekerja aku sering berpindah tempat kerja dari satu majikan ke majikan lain. Dari Jakarta, Bandung hingga Papua. Selama kurang lebih 3 tahun. Hal itu terjadi puluhan tahun lalu, tepatnya tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.
Dalam masa perantauan yang pahit, aku menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan. Aku berfikir akan sampai kapan hidup menghamba pada majikan-majikan?. Hidup bergantung pada orang lain dengan menerima gaji bulanan, tak jelas pula masa depan setelah berhenti bekerja kelak. Maka atas perenungan mendalam, aku bermimpi dapat melanjutkan sekolah lagi. Oh ya majikanku yang terakhir orang Bandung.
Mimpi melanjutkan sekolah lagi seakan tak terbendung, lalu aku memutuskan untuk pulang kampung. Mimpi yang barangkali aneh bin nyeleneh bagi sebagian orang di dusunku. Mimpi yang selanjutnya menjadi berita terhangat, membuat warga seantero Dusun Bukit Seliling mengolok-olokku. Bukan ciut nyali, justru aku merasa bahwa seluruh energi hidup menyelimutiku. Energi yang mampu menyeret langkahku untuk mewujudkannya. Ya mimpi bersekolah lagi.
Dari tanah rantau aku mengantongi uang Rp. 5.500.000. Jumlah yang kurasa cukup untuk mendaftar ke sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aku bertekad kuat uang hasil kerjaku itu bisa dipakai untuk biaya pendidikan yang berkelanjutan.Aku membelikan kambing. Dari kambing peliharaanku itu akhirnya aku bisa melanjutkan sekolah hingga SMK.
SLTP almamaterku bernama SMP N 4 Satu Atap Karangmoncol. Sebuah sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak dusun terpencil. Dari sekolah tersebut aku menemukan jalan hidupku. Aku mengenal dunia audio visual melalui sebuah kegiatan ekstrakurikuler film. Dunia audio visual yang telah membuatku menjadi seorang pembuat film pendek seperti sekarang ini. Di sekolah itu aku belajar membuat film pendek dan mengikuti sejumlah perlombaan. Dan tak jarang keluar sebagai pemenang.
Tamat dari SMP aku melanjutkan ke SMK N 1 Rembang Purbalingga, mengambil jurusan pemasaran. Aku memilih sekolah kejuruan sebab pada saat itu aku ingin bisa bekerja seusai lulus. Namun tamatan SMK ternyata sulit sekali mencari pekerjaan. Disinilah keajaiban terjadi. Aku yang masih aktif membuat film pendek semasa SMK dan mengikuti sejumlah perlombaan berhasil memenangi sejumlah penghargaan, hingga suatu hari aku diundang menjadi narasumber untuk sebuah acara televisi di Jakarta. Sebab menurut stasiun tv itu, kisah hidupku cukup mengispirasi. Ya dari seorang pembantu rumah tangga kemudian bisa menjadi seorang sutradara. Sesuatu yang barangkali dianggap unik dan menarik untuk dibagikan kisahnya kepada khalayak.
Acara televisi itu pada akhirnya mengantarkan aku pada babak baru dalam hidupku, ya aku mendapatkan kesempatan untuk kuliah. Hal yang sama sekali tak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Suatu hari ponselku berdering, mengantarkan sebuah pesan dari seorang bernama Hans Utama, Wakil Direktur III bidang kemahasiswaan Akademi Televisi Indonesia. Beliau menghubungiku melalui aplikasi perpesanan media sosial. Setelah sebelumnya menyaksikanku di layar kaca, sebagai narasumber acara inspiratif di sebuah stasiun televisi itu. Isi pesannya ialah menawarkan beasiswa penuh di kampus tersebut dengan jurusan Broadcasting. Merasa jurusan itu masih satu nafas dan satu garis dengan film, maka aku pun mengambil kesempatan itu. Dan belajar hingga lulus dengan IPK 3,81.
Saat ini, aku sedang meniti karir sebagai seorang sutradara (film independen), namun sebenarnya aku masih ingin kuliah lagi minimal sampai jenjang S1, syukur-syukuur sampai S2 dan seterusnya. Sebab aku masih memiliki mimpi yakni membagi sedikit pengetahuan yang kumiliki kepada orang-orang di sekelilingku, khususnya masyarakat desa tempat aku dilahirkan.
Aku ingin merangkul anak-anak dusun tempatku lahir agar mereka berani bermimpi tinggi dan memiliki minat pada pendidikan. Sebab minat belajar anak di dusunku masih sangat rendah. Aku juga ingin berbagi spirit bahwa kemiskinan tak lantas dapat membunuh impian jika kita mau bangkit dengan meanfaatkan potensi yang dimiliki.
Ya, suatu hari selain menjadi seorang sutradara, aku juga ingin menjadi seorang tenaga pengajar. Dan untuk menggapai keinginan itu kendaraannya hanya satu, yakni kembali belajar. Maka melalui tulisan ini saya berharap ada pihak yang dapat memberikan kesempatan untukku memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi. Sebab dalam kenyataannya tak mudah seorang praktisi terjun bebas menjadi tenaga pengajar jika tak didukung dengan gelar akademik yang juga mumpuni.
(seperti yang diceritakan Misyatun kepada saya)
sumber : klik di sini