Sangkot Marzuki: Ilmuwan Diaspora Perlu Belajar dari Lembaga Eijkman
JAKARTA (14/8) – Peran dan fungsi Ilmuwan Diaspora Indonesia selama ini acapkali luput dalam sudut pandang masyarakat kita, padahal inovasi dan publikasi mereka dalam peta ilmu pengetahuan dunia tak bisa begitu saja diabaikan. Karya-karya atau publikasi Ilmuwan Diaspora Indonesia tidak hanya sekadar dikutip atau dijadikan inspirasi oleh kalangan akademisi, melainkan sudah banyak dipatenkan menjadi produk bernilai tinggi. Tanpa kita sadari, apa yang telah ilmuwan diaspora lakukan di luar sana, secara perlahan turut mengangkat derajat bangsa Indonesia di muka dunia.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti, dalam rangkaian acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018, terus mengatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar ajang berkumpulnya ilmuwan diaspora dan ilmuwan dalam negeri. Namun, sebuah jembatan untuk mengenal dunia keilmuan di negara mereka sendiri (bagi ilmuwan diaspora) dan mengenal dunia keilmuan di luar negeri (bagi ilmuwan dalam negeri).
“Ilmuwan diaspora merupakan jembatan yang akan membawa ilmuwan dalam negeri menuju gerbang pengetahuan dunia. Keberadaan mereka sangat penting, karena bisa dimanfaatkan sebagai tempat bertanya sekaligus berlindung oleh anak bangsa yang pergi menuntut ilmu ke negeri tempat mereka tinggal,” tuturnya.
Tak hanya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang getol mengajak ilmuwan diaspora untuk berkolaborasi dengan ilmuwan di Indonesia. Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Sangkot Marzuki, juga konsisten mengajak para diaspora untuk bisa berkontribusi membangun bangsa. Sudah sejak lama, dirinya aktif membuat forum dan diskusi keilmuan dengan tujuan berbagi pengalaman kepada akademisi Indonesia terkait bidang ilmu yang ditekuninya. Bahkan, di usianya yang tidak lagi muda, pendiri lembaga Eijkman Indonesia itu pun masih mempersilakan dirinya membantu dan mendukung jalannya program SCKD 2018, yang telah berlangsung sejak 12 Agustus 2018.
Dalam kesempatannya berbicara di hadapan 47 ilmuwan diaspora yang hadir dalam seminar, Sangkot menceritakan sekelumit kisahnya tatkala menjadi diaspora di Australia. Jabatan dan jaminan yang ditawarkan di tempat kerjanya tak lantas menyurutkan niat dirinya untuk kembali. Ia meninggalkan kemapanan di Australia dan mulai meniti karier mengembangkan budaya riset standar kelas dunia di Indonesia.
Kariernya sebagai seorang diaspora bermula sekitar 40 tahun lalu, tepat ketika revolusi sains terjadi. Kala itu, ilmu biologi dan kimia mengalami lompatan yang signifikan setelah penemuan DNA sebagai molekul penyimpan informasi genetik manusia ditemukan. Proses inilah yang akhirnya melahirkan ilmu biologi molekuler. Karena kondisi itulah, Menteri Riset dan Teknologi ketika itu, B.J. Habibie memintanya pulang ke tanah air untuk membangun laboratorium biologi molekuler di Indonesia .
Sepanjang kariernya, Sangkot berpegang teguh pada persepsi bahwa ilmu pengetahuan itu sangatlah penting sebagai dasar dari pembentukan apa pun. Terlebih lagi ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan membangun tanah air. Sains itu penting untuk pembangunan human resources yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Bukan hanya sebatas sains yang menghasilkan pengetahuan di dalam buku. Namun, utamanya adalah diterapkannya suatu pengetahuan itu,” ujar sangkot.
Kita ketahui bersama, pembangunan sains Indonesia masih berjalan, maka di sinilah ilmuwan diaspora bisa membantu dan berkontribusi menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia bergerak lebih cepat lagi.
Sangkot menjelaskan peran ilmuwan diaspora sangatlah penting. Sebab kini Indonesia perlu dibantu dan didukung oleh segenap bangsanya untuk membesarkannya.
“Pada dasarnya, pemerintah tidak akan bisa memaksa siapa pun setelah kegiatan ini para ilmuwan diaspora masih ingin menetap di luar negeri. Pemerintah dan tidak melarang bila ada diaspora ingin pulang. Yang jelas hubungan ini mesti dipelihara bahkan kita perluas,” ujarnya.
Penerima penghargaan sains Order of Australia tahun 2010 itu pun sepakat dengan formula yang sebelumnya dipaparkan Dirjen Ghufron perihal agar Indonesia mampu bertahan di era revolusi industri ini. Formula ini disebut dengan formula 4C. Pertama, Critical thinking, kita seyogianya bersikap skeptis dan kritis. Kedua, Creativity, yakni mampu melahirkan inovasi-inovasi baru. Ia mengisahkan negara Korea Selatan yang memiliki income tinggi karena kreativitasnya yang muncul dari motivasi ingin mengalahkan Jepang.
Selanjutnya, Communication, menurut Dirjen Ghufron, media seperti HU Pikiran Rakyat dan media massa lainnya memiliki peran sangat penting pada proses produksi informasi. Terutama tentang sains dan teknologi, agar dapat diterima publik secara benar dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Terakhir, Collaboration, inilah kekuatan yang bisa membangun Indonesia. Menurutnya, kelemahan Indonesia adalah kurang berkolaborasi. Kita lemah ketika berkelompok. Karena itu memerlukan kerja sama dan mengerti satu sama lain.
Mengakhiri kuliah umumnya, Sangkot menyampaikan beberapa hal yang dirasa perlu diingat ilmuwan diaspora. Apa yang akan disampaikan Sangkot merupakan pembelajaran yang telah ia lalui selama berdirinya Lembaga Eijkman di Jakarta. Pertama, kepemimpinan ilmiah dan autoritas sangat penting untuk kesuksesan. Kedua, menjadikan rasa ingin tahu sebagai latar belakang penelitian. Ketiga, berpartisipasi dalam penelitian, terutama proses penemuan yang mendorong penelitian tradisional. Terakhir dan yang paling penting, membangun kerja sama internasional adalah esensi meraih kemajuan. []
Sumber : Klik