Cetak Doktor Muda Unggul, Lulusan PMDSU Tak Kalah dengan Lulusan Luar Negeri

Jakarta – Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyelenggarakan Seminar Kebangsaan dan Kepemimpinan yang diikuti oleh lebih dari 300 peserta Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) batch I dan II. Acara yang mengusung tema “Membangun Indonesia Emas 2045 Dengan Terobosan Penguatan Sumber Daya Dosen Unggul” itu bertujuan membangkitkan semangat para peserta dalam menempuh studi Doktor, menguatkan jiwa kepemimpinan dan rasa cinta Tanah Air, memperluas jajaring antar penerima beasiswa, serta menumbuhkan rasa bangga terhadap profesi sebagai ilmuwan di masa depan.
Program beasiswa PMDSU merupakan terobosan yang diinisiasi oleh Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti dalam rangka mencetak Doktor muda yang unggul untuk mengisi sumber daya dosen dan peneliti di Indonesia. Pada batch pertama, yakni tahun 2013, PMDSU diikuti oleh 57 peserta dan dibimbing oleh 27 promotor yang tersebar di enam perguruan tinggi negeri (PTN) penyelenggara. Kemudian, batch kedua kembali dibuka pada tahun 2015 dengan lonjakan peserta yang besar, yaitu menjadi 296 penerima beasiswa. Tak hanya itu, PTN penyelenggara pun meningkat menjadi 12 universitas dengan melibatkan 176 promotor. Sedangkan tahun ini, PMDSU batch ketiga telah menyaring 248 peserta beserta 162 promotor di 11 PTN penyelenggara.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti mengungkapkan rasa bangganya terhadap para penerima beasiswa PMDSU. Apalagi, sebanyak 18 peserta pada batch pertama sudah berhasil lulus dengan menyandang gelar Doktor. Padahal usia mereka masih sangat muda, yakni di bawah 30 tahun. Para lulusan tersebut kemudian diberi piagam penghargaan lantaran dapat lulus dengan cepat.
“Peserta PMDSU harus mampu menuntaskan studi S-2 dan S-3 dalam kurun waktu empat tahun. Mereka juga dituntut untuk menghasilkan dua publikasi internasional. Hasilnya, sejumlah peserta mampu melampauinya. Seperti Grandprix yang dinobatkan menjadi Doktor termuda di Indonesia pada usia 24 tahun mampu menghasilkan sembilan publikasi. Begitu juga Suhendra Pakpahan peserta dari UGM menghasilkan delapan publikasi. Ihsan dari IPB mampu menghasilkan lima publikasi. Ini capaian yang luar biasa untuk generasi muda,” tutur Ghufron, Jumat (1/12).
Ghufron menjelaskan, peserta PMDSU batch pertama secara keseluruhan sudah menghasilkan 97 publikasi internasional. Jumlah tersebut masih akan bertambah, termasuk publikasi yang saat ini tengah disusun oleh peserta PMDSU batch kedua. Potensi tersebut, lanjut Ghufron, tak kalah dengan lulusan luar negeri yang kuliah di kampus top dunia.
“Belum tentu mahasiswa yang studi di luar negeri dapat menghasilkan publikasi sebanyak itu. Artinya program ini menjadi terobosan Kemristekdikti dalam menyiapkan sumber daya iptek dikti untuk membangun Indonesia emas 2045. Bahkan dari segi biaya, program ini jauh lebih murah. Untuk meluluskan satu mahasiswa PMDSU setidaknya butuh Rp300 sampai Rp400 juta. Sedangkan membiayai studi pascasarjana di luar negeri setidaknya butuh sekira Rp1 miliar,” papar Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada itu.
Lebih lanjut, Ghufron mengungkapkan bahwa selama studi peserta PMDSU diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan peneliti dunia, yakni melalui program Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional (PKPI) atau sandwich like PMDSU selama tiga sampai enam bulan. Kepada para peserta PMDSU, pria yang baru saja mendapat gelar Doktor Honoris Causa bidang kesehatan dari Coventry University di Inggris itu berpesan agar riset dan publikasi yang telah dihasilkan dapat dihilirisasi menjadi sebuah inovasi.
“Keunggulan dan daya saing sebuah negara salah satunya ditentukan oleh para lulusan pendidikan tinggi. Para penerima PMDSU juga turut berkontribusi meningkatkan jumlah publikasi Indonesia sehingga mampu menyalip Thailand tahun ini. Kami akan terus mendorong para ilmuwan muda dan profesor produktif menghasilkan inovasi serta HAKI yang bisa diindustrialisasi dengan pendekatan triple helix,” imbuh Ghufron.
Selain Ghufron, seminar tersebut juga diisi oleh berbagai narasumber lainnya, di antaranya Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof Sangkot Marzuki; Dosen sekaligus Promotor PMDSU dari IPB, Prof Noer Azzam; Tim PMDSU, Prof Supriadi Rustad; serta Tim Pendidikan Karakter dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof Suyatno. Melalui paparannya, Sangkot Marzuki menjelaskan mengenai sejarah dan harapan pembangunan ilmu pengetahuan. Prof Noer Azzam memaparkan materi Indonesia dalam Konstelasi Global, sedangkan Prof Supriadi Rustad memberikan pembekalan soft skill dan motivasi. Di akhir sesi, Prof Suyatno membangkitkan rasa cinta Tanah Air dengan pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan.
“Indonesia memiliki biodiversitas yang sangat beragam. Potensi laut kita juga besar. Untuk dapat mengolah itu semua, dibutuhkan riset dasar yang kontinyu, sehingga pada akhirnya dapat menjadi riset terapan, dan bermanfaat bagi masyarakat juga negara,” sebut Sangkot.
Sebagai Ketua AIPI, Sangkot menuturkan, PMDSU merupakan program yang bagus dalam menciptakan keberlanjutan riset, termasuk regenerasi peneliti. Kendati demikian, mereka juga harus dibekali dengan soft skill sebagai kompetensi pendukungnya.
“Lulusan PMDSU tidak cukup hanya unggul dalam akademik, tetapi juga harus memiliki soft skill. Komunikasi efektif itu sangat diperlukan. Tanpa komunikasi efektif sebuah ilmu tidak dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kalian adalah para calon pemimpin di masa depan sehingga harus memiliki keberanian. Jangan takut untuk berinteraksi atau berdiskusi dengan profesor, karena kalian juga bisa lebih hebat dari mereka,” kata Supriadi dalam paparannya.
Menyambung materi tersebut, Noer Azzam memberikan gambaran mengenai perekonomian dan potensi Indonesia dalam konteks global. Dia mengajak para peserta PMDSU untuk percaya diri dan tidak minder dalam bersaing secara global.
“Permasalahannya kita sering kurang percaya diri dengan kemampuan sendiri, masih lebih suka dengan produk luar negeri. Padahal Indonesia ini memiliki potensi yang sangat besar. Kalian sebagai lulusan Doktor muda harus percaya diri dan yakin akan kemampuan yang dimiliki. Jumlah masyarakat Indonesia yang bergelar Doktor tidaklah banyak. Sebagai generasi muda unggul, lulusan PMDSU wajib membangun dan memajukan Indonesia,” ujar Noer Azzam.
Acara Seminar Kebangsaan dan Kepemimpinan ini mendapat respons positif dari para peserta PMDSU. Mereka mengaku bangga menjadi seorang ilmuwan. Tekad untuk bersumbangsih kepada bangsa melalui riset dan ilmu pengetahuan pun semakin besar, terutama dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera.
“Saya awalnya lulus kuliah sebagai dokter umum. Tetapi saya memilih untuk melanjutkan studi dan menjadi ilmuwan. Karena saya berpikir, bidang kedokteran tidak hanya membutuhkan dokter tetapi juga ilmuwan yang terus melakukan penelitian untuk menemukan berbagai hal baru, seperti penyakit dan obatnya. Kini setelah mengikuti acara ini saya semakin bersemangat untuk melanjutkan studi sampai lulus Doktor melalui program PMDSU,” tukas salah satu mahasiswa PMDSU dari Universitas Andalas bernama Farah.
Senada dengan Farah, Grandprix yang kini sudah lulus Doktor melalui PMDSU juga merasakan serunya menjadi seorang ilmuwan. Posisi sebagai mahasiswa yang dibimbing pun kini berubah menjadi orang yang ikut membimbing mahasiswa.
“Saya sekarang mulai ikut membantu untuk membimbing mahasiswa yang akan melakukan penelitian. Ini tantangan baru, di mana sekarang saya harus bisa memprediksi hal-hal yang akan dihadapi jika memilih suatu topik tertentu. Namun dengan segala tantangan yang sudah bisa dilewati selama menempuh studi, saya yakin lulusan PMDSU nanti akan menjadi seorang akademisi yang hebat,” tutup pria asal Kupang itu. (ira)

Leave a Reply

. . .